Sejarah Desa Adat Tejakula
Tejakula adalah sebuah kecamatan di kabupaten Buleleng, provinsi Bali, Indonesia. Kecamatan ini berjarak sekitar 38 Km dari Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng ke arah timur.
Desa adat Tejakula merupakan salah satu
desa adat bersejarah di Bali yang memiliki perjalanan panjang dan unik, baik
dari sudut pandang historis maupun geografisnya. Berdasarkan prasasti kuno Raja
Janasadhu Warmadewa pada tahun 975 Masehi, sudah disebutkan bahwa desa ini
telah ada dengan nama "Hiliran" atau "Paminggir" yang
mempunyai arti "tepi" atau "batas". Nama tersebut tercantum
juga dalam prasasti Raja Jaya Pangus (1181 M) dan Raja Eka Jaya Lancana (1122
M).
Dalam perkembangannya, nama Paminggir kemudian diubah menjadi "Hiliran" atau "Liran" sekitar tahun 1932 M saat penulisan awig-awig (sima) desa dalam bentuk lontar. Dalam lontar tersebut juga disebutkan batas-batas wilayah Liran, seperti di sebelah timur berbatasan dengan Desa Les dan di sebelah barat berbatasan dengan desa-desa Bondalem, Julah, Purwasidi, Indrapura, dan lainnya.
Terkait asal usul nama Tejakula, ada dua versi cerita
dari para penglinsir. Pertama, kata "Tejakula" berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu gabungan kata "Teja" yang berarti
"cahaya" dan "Kula" yang berarti "tepi" atau
"warga". Menurut mitos, dahulu pernah terlihat cahaya besar dari
langit yang jatuh di tepi Desa Liran, sehingga kata "Teja" diletakkan
di depan kata "Kula" menjadi Tejakula yang bermakna "cahaya yang
jatuh di tepi". Versi lain menyebutkan bahwa Tejakula berasal dari kata
"Kulandih", sebuah pemukiman di tengah hutan yang setiap malam
memancarkan cahaya hingga ke angkasa. Untuk mengenang peristiwa kemunculan
cahaya tersebut, nama Kulandih diganti menjadi Tejakula yang memiliki makna
serupa. Kedua cerita ini sama-sama menggambarkan wilayah Tejakula sebagai
daerah yang memancarkan cahaya atau sinar.
Kondisi alam Tejakula yang subur dan asri memberi ruang
bagi para pendatang untuk mengekspresikan keterampilan seni mereka sebagai
persembahan. Berbagai kesenian tradisional seperti tari Gambuh, Parwa,
Sanghyang Dedari, Wayang Wong, tari Baris, kerawitan, seni ukir, dan seni
patung berkembang subur. Awalnya, kesenian tersebut hanya dipentaskan saat
upacara adat, namun untuk melestarikannya, kini telah dibentuk sekaa atau
kelompok khusus, seperti sekaa Wayang Wong yang telah mendapat pengakuan
UNESCO. Masyarakat Tejakula terdiri dari berbagai warga dadia yang bersatu
dalam semboyan "Binakula Tunggal Kapti" yang berarti satu tujuan
meskipun beragam. Kondisi sosial dan lingkungan alam yang harmonis membuat
penduduk dapat hidup bahagia, damai, dan tenteram.
Dengan kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki, desa
adat Tejakula terus berbenah menghadapi tantangan zaman. Pariwisata
budaya dan pemberdayaan masyarakat menjadi fokus pengembangan dengan tetap
menjaga kelestarian tradisi dan lingkungan alam. Penerapan teknologi modern juga dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan desa seperti sistem irigasi. Semangat
kebersamaan dan kebhinekaan menjadi modal kuat dalam mewujudkan masa depan desa
yang lebih cerah.

Sistem kepemimpinan di desa adat Tejakula menggunakan
pola turun-temurun. Semua jabatan prajuru seperti Jro Bendesa, Jro Bau, Jro
Penyarikan, Pemangku Kahyangan Desa, anggota Desa Negak, Klian Sampingan Kaler
dan Klian Sampingan Kelod diwariskan secara genealogis. Secara kelembagaan,
desa Tejakula memiliki ikatan erat dengan desa pakraman Sukawana. Keterkaitan
ini terlihat dari keberadaan bangunan suci bernama Pura Utus yang merupakan
lokasi bersejarah. Pura ini dahulu digunakan sebagai tempat bermusyawarah bagi
45 prajuru desa Sukawana untuk membahas kondisi wilayah utara desa mereka yang
dikenal sebagai Paminggir atau Hiliran (sekarang desa Tejakula).
Wilayah Hiliran saat itu memiliki tanah yang amat subur
dan kawasan pesisir yang ramai untuk aktivitas perdagangan. Hal ini terlihat
dari keberadaan Pura Sekar di dekat pantai yang juga menjadi tempat pemujaan
bagi penganut agama Budha dan Islam selain Hindu. Kondisi ini menyebabkan
wilayah tersebut menjadi rebutan, sehingga keamanannya terganggu.
Demi menjaga keutuhan dan eksistensi wilayahnya, para
prajuru desa Sukawana yang berjumlah 45 orang mengambil beberapa keputusan
penting:
1. Membagi diri dalam menata wilayah, dengan 23 orang di
daerah Sukawana bagian selatan dan 22 orang di wilayah utara
(Paminggir/Hiliran). Para prajuru yang menuju Hiliran didampingi prajurit
khusus bernama Cendek dengan seragam tersendiri.
2. Seluruh biaya pembangunan, upacara adat, dan prosesi
ritual lainnya menjadi tanggung jawab bersama warga desa Tejakula dan Sukawana.
3. Di lokasi bersejarah itu dibangun palinggih utama dan
2 balai panjang sebagai tempat pertemuan prajuru kedua desa.
4. Perbaikan peralatan dari logam seperti tombak dan
pengawin menjadi tugas warga Tejakula.
5. Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut, dibangun bangunan suci bernama Pura Utus sebagai ungkapan puji syukur atas keputusan yang diambil.
Bukti lain keterkaitan desa Tejakula dengan Sukawana
dapat dilihat dari peninggalan bangunan suci berupa Cang Apit di pura desa
Sukawana. Bangunan ini menjadi inti upacara piodalan dengan dicatatnya
kontribusi warga Tejakula dalam pembangunannya. Hubungan desa
Tejakula juga erat dengan desa adat Batur terkait pelestarian sumber air
sebagai kehidupan. Hal ini terlihat dari palinggih Meru Tumpang Telu di Pura
Ulun Danu Batur dan lontar yang menyebutkan pentingnya menjaga aliran air
menuju Tejakula untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari warga. Desa Tejakula
juga memiliki kewajiban ritual dan biaya pemeliharaan di Pura Ulun Danu Batur
dan Sukawana atas anugerah air yang diterimanya.
Ikatan ritual antara desa Tejakula dan desa Sukawana terlihat dari peninggalan sejarah berupa bangunan suci Cang Apit di pura desa Sukawana. Cang Apit ini merupakan bangunan inti sebagai tempat upacara piodalan dan tempat singgah Ida Bhatara saat prosesi medal dan ngeranjing. Di belakang bangunan ini, terdapat catatan "Pangeling-ngeling kerama desa indik prabeya ritatkala mewangun palinggih cang apit" yang menyebutkan bahwa biaya tukang pembangunan Cang Apit ditanggung desa Tejakula, sedangkan bahan bangunannya dari desa Sukawana.
Sementara
keterkaitan desa Tejakula dengan desa adat Batur terkait dengan pelestarian
sumber air sebagai sumber kehidupan. Bukti sejarah ini terlihat dari bangunan
suci Meru Tumpang Telu di Pura Ulun Danu Batur dan lontar-lontar di Batur yang
menegaskan pentingnya menjaga kelestarian aliran air menuju desa Tejakula untuk
keperluan irigasi dan kebutuhan sehari-hari warganya. Berdasarkan catatan
"Pangeling-ngeling pepasehan Ida Bhatara" di Pura Ulun Danu Batur,
disebutkan bahwa Ida Bhatara di pura tersebut memberikan anugerah berupa Tirta
Air Suci sebagai sumber kesuburan dan kehidupan bagi warga di wilayah timur Kabupaten
Buleleng, termasuk desa Tejakula. Namun sebelum melimpahkan anugerah, Ida
Bhatara menguji ketulusan rasa bakti warganya.
Kisah
tutur ini menceritakan Ida Bhatara menjelma sebagai perempuan tua renta yang
menjajakan air dengan membawa kendi. Perjalanan dimulai dari Kanca Satak di
ujung timur Kecamatan Tejakula, lalu ke Desa Les yang membelinya seharga 2
kepeng, kemudian ke Hiliran (Tejakula) dengan harga 3 keteng. Sang penjaja air
melanjutkan perjalanan ke barat dan akhirnya menuangkan air di wilayah Air
Sanih. Dari kisah ini, tampak jelas hubungan ritual desa Tejakula dengan Batur
dan Sukawana terkait kelestarian sumber air yang merupakan anugerah dari Ida
Bhatara Ulun Danu Batur dan Sukawana dalam wujud Tirta Suci. Oleh karena itu,
warga Tejakula memiliki kewajiban ritual berupa upacara aci yang dilaksanakan
setiap tahun atau sepuluh tahun sekali sebagai wujud persembahan bakti.
Kerama desa Tejakula dengan tulus melaksanakan kewajiban ritual ini serta membiayai perbaikan bangunan suci baik di Pura Ulun Danu Batur maupun di Sukawana. Hal ini sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah sumber air yang terus mengalir ke wilayah mereka, sehingga menjamin kesuburan lahan dan kehidupan warga yang sejahtera.
Warga
(kerama) Desa Tejakula melaksanakan kewajiban menghaturkan upacara (aci) dan
kewajiban ritual lainnya sebagai bentuk bakti kepada Ida Bhatara Bhatari. Hal
ini dilakukan bukan hanya untuk memohon keselamatan, tetapi juga untuk menjamin
keberlangsungan mengalirnya sumber air kehidupan menuju desa. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan beberapa poin:
1.
Kerama Desa Tejakula secara berkelanjutan menghaturkan upacara maupun aci
setiap tahun atau sepuluh tahun sekali. Mereka juga membiayai perbaikan
bangunan suci yang menjadi tanggung jawabnya, baik di Pura Ulun Danu Batur
maupun di Sukawana.
2.
Warga Tejakula meyakini bahwa kelestarian aliran air tidak semata karena
terpeliharanya hutan, namun juga bergantung pada ketaatan mereka melaksanakan
kewajiban ritual baik secara lahir (sekala) maupun batin (niskala).
Mengacu
pada sejarah perkembangannya, peran para penguasa wilayah pada masanya sangat
penting dalam perjalanan Desa Tejakula. Bukti sejarah lainnya terlihat dari
hubungan desa ini dengan Batur dan Sukawana di Kintamani, baik dalam struktur
kepemimpinan turun-temurun maupun peninggalan fisik seperti prasasti, lontar,
serta bangunan suci seperti Meru Tumpang Telu di Ulun Danu dan Pura Utus serta
Cang Apit di Sukawana.
Kondisi riil warga Tejakula yang terdiri dari berbagai warga dadia (klen) menyatukan diri tanpa membedakan asal-usul dengan semangat "asah basa" (persatuan). Hal ini diperkuat dengan keberadaan Pura Merajan Desa dengan palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai pengakuan bahwa semua warga memiliki tanggung jawab yang sama membangun desa. Terlebih dengan semboyan "Binakula Tunggal Kapti" yang berarti warga Tejakula meski beragam namun satu tujuan. Ini menggambarkan perjalanan panjang desa yang tidak lepas dari perubahan sesuai perkembangan situasi. Keterlibatan banyak pihak seperti para penguasa, hubungan dengan Batur dan Sukawana, serta peran para penglinsir sebagai tokoh masyarakat turut memberi pengaruh dalam pertumbuhan desa.
Dengan demikian, Desa Adat Tejakula dibangun bersama atas kemauan para penglinsir, tokoh dadia, dengan tujuan kerahayuan bersama.
Komentar
Posting Komentar